Kritik Objektif Pada Novel
Ayah Karya Andrea Hirata
Novel ini menceritakan tentang Sabari yang telah
membuktikan seberapa besar cintanya kepada Marlena dan Zorro. Meskipun Zorro
hanya anak tiri, ternyata tidak sedikitpun mengurangkan rasa cinta Sabari
kepadanya. Betapa bahagianya perasaan Sabari ketika si kecil Zorro menyebutkan
kata “Aya’ kepadanya. Akan tetapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, Zorro di bawa pergi oleh
Marlena setelah perceraian mereka dilaksanakan.
Selama delapan tahun sabari hidup tanpa semangat di
dalam dirinya, hidup yang dilaluinya terasa berat dan menyakitkan karena menanggung rasa rindu kepa Zorro dan
Marlena yang ia cintai. Karena kasihan melihat penderitaan yang di alami oleh
Sabari, Ukun dan Tamat yang merupakan sahabat karibnya pun turun tangan. Mereka
pun menjelajahi pulau Sumatra untuk menemukan Zorro dan Marlena. Ternyata
pencarian mereka tidak sia-sia. Mereka berhasil membawa Zorro dan Marlena
pulang untuk bertemu kembali dengan Sabari. Sabari pun merasa sangat bahagia
dan telah menemukan kembali semangat hidupnya.
Mengambil tema yang tak asing lagi bagi pembaca yaitu
mengenai cinta, persahabatan, dan ketulusan. Akan tetapi, novel Ayah memiliki
warna yang berbeda dari novel kebanyakan. Tema yang diangkat sepertinya biasa
saja, namun dapat begitu menakjubkan
berkat pilihan kata demi kata, dan perumpamaan yang mampu Andrea tuangkan pada
novel ini. Selain itu meskipun beralurkan campuran, tapi sebagai pembaca kita
tidak akn merasa bingung saat membaca novel ini. Andrea berhasil memukau
pembaca, dan membuat pembaca memahami tiap kisah demi kisah yang dialami oleh
setiap tokoh yang ada.
Sudut
pandang yang digunakan penulis adalah sudut pandang orang pertama pelaku
sampingan , karena pada novel ini tokoh “Aku” hanya , muncul di akhir cerita
sebagai penutup. Seperti pada kutipan : “Dari Amiru aku belajar bahwa tak semua
orang mendapat berkah untuk mengabdi kepada orang tua. Karena Amiru, kemana pun
aku merantau, setiap ada kesempatan sesingkat apa pun, aku pulang untuk melihat
ayah dan ibuku.” (hal 393) , “Aku tak dapat berkata-kata. Meski berusaha, aku
tak dapat menemukan satu kata pun untuk memulai kisah cinta Sabari dan Marlena,
kisah cinta paling hebat yang pernah kuketahui seumur hidupku.” (hal 396).
Penokohan
dari tiap tokoh juga begitu kuat tergambarkan, bagaimana seorang Sabari bin Insyafi yang berwatak baik hati,
rela berkorban, sangat mencintai Lena dan Zorro, serta disenangi banyak orang
seperti pada beberapa kutipan dibawah ini :
“Ditunggunya dengan sabar
sampai waktu mau habis. Jika menyerahkan jawaban secara mendadak, peserta lain
bisa terintimidasi, lalu gerogi, pecah konsentrasi, lalu berantakan. Betapa
tampan budi pekerti anak itu.” (hal 11), “Demikian saban pagi dia latihan. Meski
hujan lebat, meski angin ribut, dia tak pernah berhenti berlari. Karena Lena
dan satu rencana manis dengan hadiah-hadiah itu, Sabari merasa tenaganya tak
terbatas.” (hal 117), “Ingat Boi, dalam hidup ini semuanya terjadi tiga kali.
Pertama aku mencintai Ibmu, kedua aku mencintai ibumu, ketiga aku mencintai
Ibumu.” (hal 394), “Hanya dengan Lena, Sabari pernah menikah. Itulah
pernikahan pertama dan terakhirnya.
Dalam pernikahan itu hanya empat kali dia pernah berjumpa dengan Lena, tetapi
dia tetap mencintai Lena, hanya Lena, hingga akhir hayatnya. Pertengahan 2013,
Sabari meninggal dunia.” (hal 394)
Tokoh Maelena yang Keras
kepala, angkuh, pembosan, tetapi sangat mencintai anaknya yaitu Zorro seperti
pada kutipan : “Marlena, oh Marlena, perempuan yang telah membuat Sabari
senewen karena kasmaran. Cinta pertamanya, belahan jiwanya, segala-galanya.
Sayang seribu sayang, tak sedikitpun Lena mengacuhkannya.” (hal 3), “Siapa yang
menyuruhmu mengambilnya?! Siapa?! Aku bisa mengambilnya sendiri!” (hal 3), “Buku
tulis untukmu, Lena”, kata Sabari selembut mungkin, malu dan gugup. Buku itu
adalah hadiah harapan tiga lomba menulis puisi tingkat pelajar, prestasi
tertinggi Sabari. Dia ingin Lena bangga kepadanya. “Tak usah ya” kata Lena.”
(hal 3), “Apa peduliku?! Dia mau jadi juara meraton, mau jadi juara menulis
indah, tak ada urusannya denganku!.” Yang terjadi Lena marah-marah. Diliriknya
hadiah-hadiah itu, segala lampu petromaks, rantang, gelas, piring, jam dinding.
Tak sudi dia menerimanya.” (hal 119), “Zorro memberiku alasan untuk terus
berjuang. Dia dapat membuat beban berat jadi ringan, marah jadi senang, tangis
jadi senyuman. Ah beruntungnya aku punya Zorro.” (isi surat yang ditulis
Marlena) (hal 278).
Amiru atau Zorro yang
merpakan anak tiri Sabari. Ia Seorang anak berbudi pekerti baik dan rupawan,
rela berkorban demi membahagiakan orang tuanya. Seperti pada kutipan :
“Senang dia melihat ayahnya
tersenyum mendengar lagu-lagu yang indah. Tak ada yang lebih diinginkan Amiru
selain melihat ayahnya tersenyum.” (hal 7), “Pulang dari sekolah esoknya, tak
ambil tempo, naik sepeda, Amiru segera berangkat ke pabrik tali rami. Dia masuk
kantor dan langsung bilang mau kerja.” (hal 87), “Amiru tak mau menyerah demi
ayah ibunya. Dia meminta pekerjaan apa saja, dari siapa saja, di mana saja,
bahkan pekerjaan yang orang dewasa sendiri berat mengerjakannya, misalnya
menggali sumur atau menjadi kuli harian menambal jalan raya.” (hal 129)
Ukun dan Tamat yang
merupakan kedua sahabat karib Sabari, meskipun jenaka dan sering mengolok-olok
Sabari, tetapi mereka tidak tinggal diam dan pantang menyerah untuk membuat
Sabari kembali bahagia. Seperti pada kutipan : “Tamat mengatakan bahwa esok
sore mereka akan ke Sumatra untuk mencari Lena dan Zorro. Jika berjumpa, merea
akan membujuknya agar pulang ke Belitong. Sabari tak berkata-kata.” (hal 299),
“Karena itu, Boi,” kata Ukun, “ tolong jangan gila dulu. Biarlah kami mencari
Lena dan Zorro dulu. Kalau kami gagal, silahkan nanti kalau kau mau menjadi
gila, tak ada keberatan dariku dan Tamat sebagai kawan-kawanmu. Untuk sementara
ini, tahan dulu.” (hal 299), “Getir Tamat mendengar kata gagal. Ngeri dia
membayangkan Sabari berjalan hilir mudik di Pasar Belantik tanpa menyadari
bahwa dirinya tak bercelana. Namun, situasi mereka runyam. Persoalannya bukan
hanya harapan yang kecil untuk menemukan Lena dan Zorro di Singkep, melainkan
ada soal pelik lain, yaitu duit sudah habis. Namun, takkan mereka menyerah demi
kawan mereka, Sabari.” (hal 337).
Seperti
novel sebelumnya, Ayah juga masih menggunakan Belitong sebagai latar cerita
utama. Cerita dipenuhi dengan berbagai tempat yang ada di Belitong, namun kesan
laut, pantai, dan ombak tentu saja menjadi ciri khas tempat pada novel ini. “Setiap
sore, tak pernah absen, kedua sahabat itu ke pantai barat.”, “Meski tahun demi
tahun tak pernah melihat langit menjadi biru, Ukun dan Tamat tetap datang ke pantai barat.” (hal
261). Selain itu kampung Belantik yang ada di Belitong : Dulu dia tak ubahnya
anak-anak lain di Belantik.” (hal 9), “Di kampung lain, Belantik.” (hal 30), “Sabari
mensyukuri keputusannya pulang ke Belantik.” (hal 153), “Ukun dan Tamat sering
ke Belantik karena mereka pun telah jatuh hati kepada anak itu.” (hal 188).
Latar
waktu yang ada pada novel ini bermacam-macam mulai dari pagi, siang, sore,
hingga malam “Sejak pagi Amiru mengharapkan hujan turun karena dia suka bunyi
hujan,” (hal 51), “Siang itu Markoni memanggil Sabari dan menawarinya untuk
menikahi Lena.” (hal 170), “Sore itu Sabari mendorong kursi roda ayahnya
melintasi padang ilalang.” (hal 64), “Malam dilewatkannya dengan menjalin pukat
di bawah temaram lampu minyak sambil menyimak siaran radio.” (hal 5).
Jumlah halaman pada
novel Ayah sebanyak 396 halaman utama. Tidak heran jika ketika membacanya
perasaan kita akan bercampur aduk. Mulai dari tertawa karena aksi kocak para
tokoh, keluguan Sabari, merasa kesal karena sikap Lena, maupun merasa sedih
disaat Sabari harus menahan rindu terhadap anak yang sangat dicintainya itu.
Menurut saya penulis berhasil memilih tiap kata demi kata, diksi, majas,
maupun, latar yang tepat sehingga pembaca ikut terbawa suasana pada cerita ini
sehingga tidak bosan ketika membacanya. Seperti kutipan-kutipan ini : “Sebatang
pohon delima di pojok kanan pekarangan ikut-ikutan kesepian. Mereka, termasuk
pohon delima itu , rindu kepada Marlena, Marleni, dan terutama, Zorro.” (hal
2), “Berkali-kali dipegangnya tas yang disandangnya, untuk memastikan uang
hasil kerja kerasnya masih ada disitu. Senyumnya tak henti mengembang karena
membayangkan apa yang akan di alami ayahnya nanti malam.” (hal 131), “Radio itu mengerang sebentar, berasap-asap, lalu
pingsan.” (hal 18), “Jika dia menangis, tangisannya keras bukan kepalang
sehingga kayu- kayu yang menopang atap rumbia menggeletar. Paku-pakunya mau
copot.” (hal 183).
Tak sekedar menceritakan percintaan, dan persahabatan,
pada novel ini juga banyak amanat yang dapat kita petik. Seperti mencintai
itu butuh pengorbanan dan pembuktian, bukan hanya sekedar dengan kata-kata atau
ucapan. Layaknya Sabari yang terus menerus mencintai dan berjuang mendapatkan
Marlena dan Zorro, meskipun banyak rintangan dan cobaan yang harus dilaluinya. Kita juga mengetahui bahwa
tidak
ada seorang Ayah yang tidak mencintai
anaknya, walaupun begitu keras karakter seorang lelaki, tetapi jika dia telah
menjadi seorangg ayah, ia akan berusaha untuk terus menyayangi serta menjaga
buah hati yang dicintainya. Ukun dan Tamat juga memberi kita pelajaran bahwa bersahabat
bukan hanya untuk waktu yang singkat, tetapi persahabatan harus terus dijaga
sampai akhir hayat. Seorang sahabat tidak akan tega melihat sahabatnya menderita,
meskipun terkadang jengkel tetapi Ukun dan Tamat selalu berusha untuk
menyadarkan dan membantu Sabari di setiap permasalahan yang dialaminya. Zorro/Amiru memberikan
contoh kepada kita bahwa sudah selayaknya jika seorang anak
berusaha untuk membahagiakan orang tuanya. Sebagaimana yang dilakukannya yaitu berusaha
untuk membahagiakan Ayahnya meskipun dia harus bekerja keras. Hal itu ia
lakukan untuk membuktikan betapa besar cintanya kepada orang tuanya.
Komentar
Posting Komentar