Kritik Sastra Menggunakan Pendekatan Pragmatik pada Novel Kubah Karya Ahmad Tohari
Suatu
karya sastra diciptakan untuk menyampaikan efek-efek tertentu pada penikmatnya.
Selain itu karya sastra memiliki fungsi untuk memberikan pendidikan moral,
agama, maupun fungsi sosial lainnya. Novel Kubah karya Ahmad Tohari sangat
sarat akan pesan-pesan moral, agama, maupun sosial. Sehingga novel ini layak
untuk dibaca berbagai macam kalangan, karena mampu membuka pola pikir pembaca
bahwa setiap manusia hidup bersosial dan saling membutuhkan, tanpa melihat
latar belakangnya saja.
Novel
Kubah menceritakan tentang Karman yang
telah di penjara selama dua belas tahun di Pulau B, akhirnya di bebaskan dan
pulang ke kampung halamannya yaitu Pegaten. Selama ia di penjara, ternyata
banyak yang berubah dengan kota kelahirannya itu, ia pun merasa asing dan
rendah diri, ia takut keberadaannya tidak di terima oleh masyarakat Pegaten.
Seperti pada kutipan :
(1) “Nah,
Kapten. Saya memang segan minum obat karena saya tidak ingin sembuh Saya merasa
tidak perlu sembuh. Lebih baik saya tidak sembuh.” (hal 20)
(2) “.....
Dan yang pasti, sikap putus asa tidak pernah menjadi jawaban yang benar. Tidak pernah! Dan yang pasti pula,
bagaimanapun ketiga anakmu ingin melihat ayahnya pada suatu saat. Bila kau
dapat menyingkirkan angan-angan untuk berputus asa, kau akan sampai pada jalan
yang terbaik. Nah, sekarang minumlah obat-obat itu. Mari kubantu.” (hal 22)
Pada
kutipan diatas sangat jelas bahwa Karman merasa putus asa dan rendah diri. Dia
merasa tak ada gunanya lagi ia sembuh, tak ada gunanya lagi ia keluar dari
penjara, karena Karman merasa keluarganya tidak akan menerima kehadirannya
kembali. Kita mengetahui bahwa sebagai manusia kerap kali kita merasa menyesal
atas segala perbuatan yang telah kita lakukan, akan tetapi pada satu sisi kita
merasa kebingungan, apakah yang telah kita lakukan terdahulu bisa untuk
diterima dan dimaafkan oleh orang-orang yang pernah kita lukai.Sehingga rasa
penyesalan terus menerus tumbuh dan menghantui pikiran kita sendiri.
Karakter
Karman yang dahulunya baik berubah drastis semenjak bertemu dengan Margo.
Disini penulis menyampaikan bahwa beginiah kenyataan disekitar kita, tak jarang
kita temui manusia berhati licik yang rela menghasut orang lain untuk
memperlancar jalannya sendiri. Sebagai manusia yang berhati lembut dan mudah
diperdaya, tentu saja Karman dengan cepatnya berubah menjadi sosok yang angkuh
dan mengerikan, seperti pada kutipan :
(1) “Margo, seorang kader partai yang cerdik, amat
pandai merekayasa kehalusan hati Karman demi kepentingan politiknya.” (hal 72)
(2) “Mereka,
orang-orang kaya, adalah kaum penindas yang secara historis selalu
mempertahankan kelestarian kelasnya. Mereka tidak ingin seorang seperti kau
masuk dalam kalangan mereka. Sadarlah kau sekarang, betapa jahat kaum tuan
tanah itu.” (hal 93)
(3) “Hanya
setahun sejak perkenalannya dengan kelompok Margo, perubahan besar terjadi pada
pribadi Karman. Ia menjadi sinis. Segala sesuatu, apalagi yang menyangkut Haji
Bakir selau di tanggapi dengan perasaan buruk.” (hal 93)
Bagai
mana bisa seorang komunis yang telah lama di penjara bisa di terima kembali
oleh masyarakat, terebih lagi istrinya Marni kini ternyata telah menjadi istri
pria lain.Tentu saja hal tersebut kembali membuat Karman tidak percaya diri.
Akan tetapi sesampainya Karman di Pegaten, ternyata ia di sambut hangat oleh
orang-orang yang mengetahui dirinya telah kembali. Disini penulis menyampaikan
bahwa meskipun kehidupan kita terdahulu cukup kelam, akan tetapi bukan berarti
orang-orang akan terus membenci kita. Berusahalah untuk membuka diri,
menanamkan rasa percaya diri, dan berusaha sebaik mungkin agar diterima oleh
masyarakat kembali. Hal ini dibuktikan pada kutipan :
(1) “Tetapi
wajah orang-orang Pegaten yang berhias senyum, sikap mereka yang semakin ramah,
membuat Karman merasa sangat bahagia. Karman sudah melihat jalan kembali menuju
kebersamaan dan kesetaraan dalam pergaulan yang hingga hari-hari kemarin terasa
mengucilkan dirinya.” (hal 189)
(2) “Maka
Karman bekerja dengan hati-hati. Ia menggabungkan kesempurnaan teknik,
keindahan estetika, serta ketekunan. Hasilnya adalah sebuah mahkota mesjid yang
sempurna.” (hal 188)
(3) “Beruntung,”
sambung yang lain, “kita mendapatkan Karman kembali. Kalau tidak, niscaya kita
tidak bisa sembahyang di dalam mesjid sebagus ini.” (hal 189)
Setelah
berbaur kembali pada masyarakat, dan membuktikan kembali bahwa Karman kini
telah kembali menjadi Karman yang sebelumnya, seorang lelaki pintar yang baik
budi maupun pekertinya. Karman pun berhasil menempatkan dirinya di tengah-tengah
masyarakat. Di saat perbaikan masjid Haji Bakir, Karman menawarkan diri untuk
membuat Kubah mesjid. Kubah mesjid yang ia kerjakan ternyata memberikan
kepercayaan pada dirinya, bahwa manusia diberikan hak asasi bagi yang sadar
akan rasa kemanusiannya.
Komentar
Posting Komentar