Kritik Sastra Pada Novel Tarian Bumi Menggunakan Pendekatan Ekspresif



Ida Ayu Oka Rusmini lahir di Jakarta, 11 Juli 1967. Masa kanak-kanaknya lebih banyak dihabiskan di Jakarta, akan tetapi menjelang remaja ia menetap di Denpasar, Bali. Dibesarkan dengan kultur Bali yang kuat dan berlatar belakang keturunan Brahmana, tak ayal membuat tulisan-tulisannya yang fenomenal mendapatkan banyak penghargaan di dunia sastra. Dalam kritik sastra kali ini saya akan mengulas tentang novel fenomenalnya yang berjudul Tarian Bumi dengan pendekatan ekspresif.  Pendekatan ini penyaji gunakan karena dalam novel tersebut tampak jelas bahwa peulis mampu mengeskpresikan dirinya kedalam tokoh yang ada pada cerita.

Seperti kutipannnya dibawah ini:
(1)   “Tiang sudah sejak lama memikirkan akibat-akibanya kelak. Juga tiang sudah tau apa yang kira-kira akan terjadi dengan hubungan keluarga kita dengan keluarga griya. Tiang dan Tugeg akan atasi pelan-pelan”. (hal 138)
(2)   “Telaga benar-benar melatih diri untuk meninggalkan seluruh kebangsawanannya. Semua untuk cinta. Untuk perhatian, untuk kasih sayang yang tidak pernah dia dapatkan dari laki-laki. (hal 149)
(3)   “Meme harus tahu, tiang tidak menyesal menjadi istri Wayan. Yang tiang sesalkan, begitu banyak orang yang merasa lebih bangsawan daripada bangsawan yang sesungguhnya.” (hal 174)
Disini penulis mampu mengepresikan dengan baik bagaimana jadinya jika seorang wanita dari kaum Brahmana  menikah dengan lelaki biasa. Meskipun wanita itu sendiri yang menginginkan melepas kebangsawanannya, hal itu tetap akan dianggap tabu dan dipermasalahkan oleh masyarakat di Griya. Hal tersebut mampu penulis sajikan berkat pengalaman hidupnya. Dimana Bagus Prasetyo yang merupakan seorang penyair dan esais adalah suami dari Oka Rusmini. Pernikahannya dengan pria Jawa tersebut harus dibayar mahal oleh Oka yang berkasta Brahmana. Seperti tokoh-tokoh perempuan dalam rekaannya,  ia bernasib sama. Oka harus meninggalkan Griya, dibuang dari keluarganya karena mencintai seorang muslim yang berbeda kasta dengannya. Ia pun lantas memutuskan memeluk agama Islam.

Selain itu pada kutipan selanjutnya :

(1)   “Semua orang desa sudah tahu, tak ada yang bisa mengalahkan Ida Ayu Telaga Pidada menari Oleg. Sebuah tari tentang nikmatnya merakit sebuah percintan. Tari tentang keindahan cinta laki-laki dan perempuan. Gabungan antara nafsu dan ego yang berebutan keluar dari panasnya gerak itu.” (hal 4)
(2)   “Aku bicara yanng sesungguhnya. Bagaimana mungkin seorang penari joged yang tubuhnya bisa disentuh laki-laki bisa menasihati cucuku dengan baik.” (hal 73)

Penulis mampu mengekspresikan dengan baik. Bentuk implementasinya yaitu pengggambaran mengenai tarian oleg yang merupakan tarian Tradisonal masyarakat Bali.. Bagaimana erotisnya tarian ini, dan pandangan beberapa kaum terhadap paara wanita yang menarikan tariaan tersebut. Sebenarnya Oka Rusmini menjadikan tulisan-tulisannya sebagai sebuah dokumentasi, khususnya dokumentasi Bali. Sebab ia percaya bahwa segala tradisi yang pernah terjadi di Bali, kelak akan punah tergerus zaman.

Berikutnya pada kutipan di bawah ini:
(1)    “Aku layak jadi perempuan terhormat. Kau harus yakin keinginanku akan terkabul. Kalau kau yakin dewa dewa akan menolong kita. Ayo Kenten. Konsentrasilah. Demi aku. Aku capek jadi orang melarat. Aku capek keluargaku tidak ada tempat di masyarakat ini. Aku capek tersisih. Aku ingin jadi orang nomor satu.” (hal 40)
(2)   “Hanya ada suara tangisan Ibu, tangisan seorang perempuan sudra, perempuan yang tidak bisa berbuat apa-apa ketika harus berhadapan dengan perempuan senior.” (hal 12)

Pada kutipan di atas membuktikan bahwa sulitnya kehidupan wanita Bali dalam lingkungan keluarga dan masyarakat berdasarkan status sosialnya. Wanita ditekan bila ia tidak terlahir dari keluarga terhormat, bukan dari darah kaum brahmana yang tinggal di Griya. Selain itu, meskipun ia sudah menikah dengan kaum Brahmana, tak lantas kehidupannya akan menjadi sempurna . Ia akan terus disisihkan oleh wanita brahmana yang sebenar-benarnya. Penulis mampu mengekpresikan bahwa kehidupan semua perempuan di novel ini merupakan perwakilan dari kehidupan perempuan Bali pada umumnya. Itu semua merupakan kritik sosial yang Oka Rusmini ingin sampaikan terhadap sistem kasta yang sangat kaku dan angkuh.

(4)   “Hyang Widhi! Kau tahu seluruh kayu itu untuk persediaan satu bulan. Untuk kebutuhan sehari hari memasak nasi dan menggoreng jaje uli. Itulah. Sudah tiang katakan, jangan kawin dengan lelaki brahmana. Susah. Kau tidak bisa hidup disini. Tidak akan pernah bisa!” (hal 147)

Pada kutipaan di atas, penulis mampu memaparkan serta mengekspresikan curahan hatinya. Karya penulis yang begitu keras mendobrak tabu tradisi dan dengan gamblang membicarakan persoalan adat istiadat dan tradisi Bali yang kolot dan merugikan perempuan, terutama di lingkungan griya, rumah kaum Brahmana. Ia dengan lugas menentang tabu, memaparkan persoalan seks dan erotika secara gamblang. Meskipun hal tersebut memunculkan pertentangan dari keluarga, sejumlah teman, atau masyarakat yang membaca karyanya mungkin merasa terganggu, tapi ia abaikan. Baginya, dunia harus tau betapa tanggunya perempuan di Bali dalam tekanan-tekanan tersebut.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritik Sastra Menggunakan Pendekatan Mimetik pada Cerpen Gerobak Karya Seno Gumira Ajidarma

MENULIS KRITIK DAN ESAI SECARA EKSPRESIF

Kritik Objektif Pada Novel Ayah Karya Andrea Hirata